Entri Populer

Minggu, 11 Juli 2010

Pandangan Hadratusy SyaikhHasyim Asy'ariTentangPeringatan Maulid

Kutipan Bebas Dari Kitab
al-Tanbihat al-Wajibat Li Man
Yashna ’ al-Mawlid Bi al-
Munkarat
Karya Hadratusy Syaikh Hasyim
Asy ’ari
Buku ini terdiri muqaddimah, 10
Tanbih, khatimah, 3
penjelasan tambahan, tadznib
(epilog) yang dikutip dari ‘Izz
al-Din bin ‘Abd al-Salam
a. Muqaddimah
Hadratusy syaikh memulai
muqaddimah kitabnya dengan
kutipan hadis, “Kullu bid’ah
dhalalah”.
Pada malam Senin, 25 Rabiul
Awal 1355 H, saya mendapati
sekelompok santri di beberapa
pesantren menyelenggarakan
perayaan Maulid. Mereka
mendatangkan alat-alat malahi
(musik), dan melakukan
kemunkaran seperti pencak silat,
tinju, dan permainan rebana,
setrek (ketoprak), judi, joget-
joget, tertawa terbahak-bahak,
teriak-teriak, di hadapan
perempuan-perempuan yang
bukan mahramnya. Sebagian
dari mereka bahkan melakukan
ikhthilath, di mana laki-laki
dan perempuan bercampur baur.
Kemunkaran ini dilakukan
setelah pembacaan ayat Alquran,
khabar-khabar tentang
Rasulullah, dan sirah beliau.
Melihat hal ini, akupun menegur
dan melarang mereka. Kemudian
merekapun membubarkan
diri.
Kekhawatiran akan terjadinya
kembali peristiwa ini, yang
bisa jadi membuat masyarakat
yang awam keluar dari agama
Islam (murtad) tanpa mereka
sadari, maka akupun menulis
Tanbihat ini sebagai sebuah
nasihat dariku kepada kaum
muslimin.
b. Sepuluh Tanbihat
Pertama, peringatan maulid
sebagaimana yang dikehendaki
ulama, yaitu berkumpulnya
sekelompok orang yang
membaca
Alquran, sirah rasulullah, dan
menyantap hidangan yang
disediakan. Ada juga yang
menabuh rebana dengan tetap
menjaga etika dan kesopanan.
Hadratusy syaikh mengutip Abu
Syamah dalam kitabnya al-
Ba ’its Fi Inkar al-Bida’ wa al-
Hawadits yang menyatakan
bahwa salah satu bid’ah yang
terbaik yang ada di zamannya
adalah tradisi peringatan mauled
rasulullah yang
dimanifestasikan dalam bentuk
sedekah, kegembiraan, dan
berbuat baik kepada kaum
dhuafa.
Pada tanbih pertama ini,
Hadratusy syaikh banyak
mengutip
riwayat (hadis) dan pendapat
ulama terkait anjuran
bergembira dengan mawlid
rasulullah. Beliau mengutip hadis
riwayat al-Tirmidzi tentang
kebolehan membunyikan rebana
di masjid saat mengumumkan
pernikahan. Beliau mengkritik
al-Tirmidzi yang mendhaifkan
hadis tersebut.
Kedua, Hadratusy syaikh kembali
menyatakan keharaman
peringatan mauled yang disertai
kemunkaran. Beliau
mengutip al-Baydhawi dalam
Tafsirnya, “Ketaatan yang
memunculkan kemaksiatan yang
rajih (lebih dominan dari
pada ketaatan itu sendiri) wajib
ditinggalkan. Karena segala
sesuatu yang menjerumuskan kita
ke dalam keburukan
adalah buruk ”.
Ketiga, Hadratusy syaikh
mengutip ucapan al-Fakihani,
seorang ulama mazhab Maliki
tentang keharaman
peringatan mauled yang disertai
kemunkaran. Sementara
ketika peringatan mauled ini
dilakukan berupa
berkumpulnya sekelompok orang
yang menyantap hidangan
yang disediakan, maka hukumnya
bid ’ah yang makruhah.
Pendapat al-Fakihani yang
menyatakan kemakruhan mauled
yang diselenggarakan tanpa
kemunkaran ini dikritik oleh
Yusuf al-Dajawi.
Keempat, Hadratusy syaikh
mengutip Abu ‘Abdullah bin al-
Haj, seorang ulama mazhab
Maliki, tentang keharaman
perayaan mauled dengan disertai
kemunkaran.
Kelima, Hadratusy syaikh
mengutip Ibn Hajar (al- ‘Asqalani)
yang menyatakan bahwa
peringatan mauled adalah bid’ah
yang memuat kebaikan dan
keburukan. Jika mauled
dilaksanakan dengan cara yang
benar dan menjauhi
kemaksiatan, maka ia menjadi bid
’ ah hasanah. Demikian pula
sebaliknya jika mauled
dilaksanakan dengan disertai
kemunkaran, maka ia adalah bid
’ ah yang haram. Al-‘Asqalani
kemudian menyatakan riwayat
yang menyatakan anjuran
menampakkan kegembiraan atas
lahirnya rasulullah, dan
manifestasi kegembiraan yang
diperbolehkan (yaitu dengan
ibadah).
Keenam, Hadratusy syaikh
mengutip al-Qadhi ‘Iyadh tentang
kewajiban memuliakan rasulullah
yang salah satunya berupa
peringatan hari kelahirannya. Al-
Qadhi menyatakan bahwa
rasulullah wajib dimuliakan baik
saat beliau hidup maupun
setelah kemangkatannya.
Ketujuh, Hadratusy syaikh
mengutip Ibn al-Haj al-Fasi
tentang keharaman memuliakan
sesuatu bukan pada
tempatnya. Demikian juga haram
hukumnya menggunakan
sesuatu yang menghinakan pada
sesuatu yang dimuliakan.
Kedelapan, Hadratusy syaikh
mengutip al-Qadhi ‘Iyadh
keharaman menghina rasulullah.
Kesembilan, Hadratusy syaikh
memaparkan bahwa
merayakan mauled dengan
disertai kemunkaran adalah
perbuatan yang sangat buruk.
Kesepuluh, Hadratusy syaikh
memaparkan kemunkaran yang
dilakukan bersamaan dengan
peringatan mauled, seperti
memubadzirkan harta dan
berlebihan dalam berdandan
(dan
berpakaian). Hadratusy syaikh
juga membahas banyak hal
pada tanbih ini.
c. Khatimah
Hadratusy syaikh mengulas
tentang tradisi NU (Nahdhatul
‘ Ulama) dalam memperingati
mauled. Beliau memaparkan
dalil membaca (Alquran) dengan
suara yang merdu
Buku ini selesai ditulis pada hari
Ahad, 14 Rabi ’ al-Tsani 1355
H (ditulis dalam rentan waktu
kira-kira delapan belas hari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar