Entri Populer

Minggu, 11 Juli 2010

PERINGATAN HARIKELAHIRANNABI DALAMPEMAHAMANULAMA “SALAFI”DAN ULAMATERDAHULU

Dikutip dari Buku Maulid
dan Ziarah ke Makam
Nabi saw ( SERAMBI )
oleh Mawlana Syaikh
Hisyam Kabbani ar-
Rabbani qs
Pandangan Ibn
Taymiyyah tentang
Maulid dan
Penyimpangan Kaum
Salafi dari Pandangannya
( Kutipan berikut
merupakan pandangan
Ibn Taymiyyah tentang
maulid sebagaimana
diuraikan dalam
kitabnya, al-Fatâwâ:26 )
Demikian halnya apa
yang diada-adakan oleh
sebagian orang dengan
menganalogikan pada
orang-orang Nasrani
yang merayakan
kelahiran Isa, atau
karena rasa cinta kepada
Nabi saw dan untuk
memujanya, Allah swt
akan memberi mereka
pahala atas cinta dan
usahanya ini, bukan atas
kenyataan bahwa itu
suatu bidah …
Merayakan dan
menghormati kelahiran
Nabi saw dan
menjadikannya sebagai
saat-saat yang
dihormati, sebagaimana
dilakukan oleh sebagian
orang, adalah baik, dan
padanya ada pahala yang
besar, karena niat baik
mereka dalam
menghormati Nabi saw.
Karena kesetiaan
mereka kepada Ibn
Taymiyyah, tampaknya
kaum Salafi tidak dapat
memaafkannya atas
ucapannya ini. Seorang
editor majalah kaum
Salafi, Iqtidhâ’,
Muhammad al-Fiqqî,
menulis dua halaman
catatan kaki untuk teks
tersebut. Di dalamnya ia
berteriak keras, “Kayfa
yakûnu lahum tsawâb
‘alâ hâdza? … Ayyu
ijtihâd fî hâdzâ??
(Bagaimana mungkin
mereka dapat
memperoleh pahala
untuk hal tersebut? …
Ijtihad macam apa ini??)”
Para ulama Salafi
kontemporer bisa
dikatakan berlebihan
dan menyimpang
menyangkut peringatan
maulid ini. Mereka
mengganti sikap Ibn
Taymiyyah tersebut
dengan ketetapan
hukum mereka sendiri,
padahal sikap Ibn
Taymiyyah tersebut
mestinya cukup buat
mereka. Pengarang
Salafi yang lain, Manshûr
Salmân, juga bersikap
demikian dalam
menerangkan al-Bâ‘its
‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya
Abû Syâmah, karena Abû
Syâmah bukannya
mengkritisi peringatan
maulid, tetapi justru
menyatakan, “Sungguh
itu suatu
bidah yang patut dipuji
dan diberkati.”
Dalam teks yang
disebutkan di atas, Ibn
Taymiyyah juga
menyebutkan suatu
fatwa oleh Ahmad ibn
Hanbal, imamnya mazhab
fikih Ibn Taymiyyah,
tatkala orang-orang
bercerita kepada Imam
Ahmad mengenai
seorang pangeran yang
membelanjakan 1000
dinar untuk membuat
hiasan Alquran, beliau
mengatakan: “Itulah
tempat terbaik baginya
untuk menggunakan
emas.”
Apakah Ibn Taymiyyah
sedang mempromosikan
bidah tatkala beliau
membolehkan
peringatan maulid
“sebagaimana dilakukan
oleh sebagian orang”?
Tidak. Beliau tidak hanya
membolehkannya, tetapi
beliau menyebutkan pula
bahwa peringatan maulid
yang mereka lakukan itu
“baik dan padanya ada
pahala”. Apakah Imam
Ahmad sedang
melakukan suatu bidah
tatkala beliau
membolehkan menghiasi
Alquran dengan emas?
Jawaban atas kedua
pertanyaan tersebut
adalah tidak.
Pembolehan peringatan
hari kelahiran Nabi saw.
oleh Ibn Taymiyyah ini,
yang oleh para
pendukungnya telah
diartikan secara keliru
sebagai suatu kritik atas
peringatan maulid, telah
disebut-sebut oleh para
ulama Suni seperti Sa‘îd
Hawwâ, Muhammad ibn
‘Alawî al-Mâlikî, ‘Abd al-
Karîm Jawwâd, al-Sayyid
Hâsyim al-Rifâ‘î, dan dua
syekh dari golongan
Qarawiyyin, yaitu ‘Abd
al-Hayy al-Amrûnî dan
‘Abd al-Karîm Murâd.27
Pendapat Ibn Taymiyyah
tentang Halaqah Zikir
Berikut adalah
pandangan Ibn
Taymiyyah mengenai
pertemuan-pertemuan
untuk berzikir bersama:
Ibn Taymiyyah pernah
ditanya mengenai orang-
orang yang berkumpul di
dalam masjid untuk
berzikir dan membaca
Alquran, berdoa kepada
Allah, membiarkan
kepalanya terbuka tanpa
turban dan menangis,
padahal niatnya
bukanlah untuk ria, juga
bukan untuk pamer,
tetapi berusaha
mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah
swt semata: apakah itu
dibolehkan atau tidak?
Beliau menjawab:
“Segala puji bagi Allah
swt, adalah baik dan
dianjurkan oleh syariah,
untuk berkumpul
bersama membaca
Alquran, membaca zikir,
dan berdoa.”28
Ibn Katsîr Memuji Malam
Maulid
Imam Ibn Hajar
al-‘Asqalânî
menyebutkan bahwa Ibn
Katsîr, seorang ahli hadis
pengikut Ibn Taymiyyah,
“pada hari–hari terakhir
hidupnya menulis sebuah
kitab berjudul Mawlid
Rasûl Allâh yang tersebar
luas.29 Kitab tersebut
menyebutkan kebolehan
dan anjuran
memperingati maulid
Nabi saw.”30
Dalam kitab Ibn Katsîr
tersebut, ia mengatakan,
“Malam kelahiran Nabi
saw. adalah malam yang
agung, mulia, diberkati,
dan suci, suatu malam
yang membahagiakan
bagi orang-orang
beriman, bersih, bersinar
cemerlang, dan tak
ternilai harganya.”31
Fatwa al-‘Asqalânî dan
al-Suyûthî tentang
Kebolehan Memperingati
Maulid Nabi Muhammad
sallallahu alayhi
wasalam.
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî
berkata:
Syekh-Islam, seorang
tokoh hadis pada
masanya, Ahmad ibn
Hajar (al-‘Asqalânî)
pernah ditanya mengenai
kebiasaan memperingati
kelahiran Nabi saw.
Beliau memberikan
jawaban sebagai berikut:
Sehubungan dengan asal
muasal dari kebiasaan
memperingati kelahiran
Nabi saw, itu merupakan
suatu bidah yang kita
tidak menerimanya dari
para saleh di antara
kaum muslim terdahulu
pada masa tiga abad
pertama Hijriah.
Meskipun demikian,
praktik tersebut
melibatkan bentuk-
bentuk yang terpuji dan
bentuk-bentuk yang tak
terpuji. Apabila dalam
praktik peringatan
tersebut, orang-orang
hanya melakukan hal-hal
terpuji saja, dan tidak
melakukan yang
sebaliknya, maka itu
bidah yang baik, tetapi
bila tidak demikian,
maka tidak.
Dalil dasar dari nas yang
bisa dipercaya untuk
merujuk keabsahannya
telah saya temukan,
yaitu suatu hadis sahih
yang dimuat dalam
kumpulan Shahîh al-
Bukhârî dan Shahîh
Muslim, bahwa Nabi saw.
datang ke Madinah dan
menemukan orang-orang
Yahudi berpuasa pada
tanggal sepuluh
Muharam (Asyura), maka
beliau bertanya kepada
mereka tentang hari itu
dan mereka menjawab:
“Hari ini adalah hari
Allah swt
menenggelamkan Firaun
dan menyelamatkan
Musa a.s., maka kami
pun berpuasa untuk
menyatakan syukur
kepada Allah Taala.”
Dalil ini menunjukkan
keabsahan berterima
kasih kepada Allah swt
atas karunia-Nya yang
diberikan pada suatu
hari tertentu, baik dalam
bentuk pemberian
nikmat dan
penghindaran dari
bencana. Kita mengulang
rasa syukur kita dalam
peringatan hari tersebut
setiap tahun, dengan
menyatakan syukur
kepada Allah swt dalam
berbagai bentuk
peribadatan seperti
sujud syukur, puasa,
memberi sedekah atau
membaca Alquran …
Lantas, karunia apa lagi
yang lebih besar
daripada kelahiran Nabi
saw., Nabi pembawa
rahmat, pada hari ini?
Melihat kenyataan
demikian, kita
seharusnya memastikan
untuk memperingatinya
pada hari yang sama,
sehingga sesuai dengan
cerita tentang Musa a.s.
dan tanggal sepuluh
Muharam di atas. Akan
tetapi, orang yang tidak
melihat persoalan ini
penting, merayakannya
pada hari apa saja dalam
bulan itu, bahkan
sebagian meluaskannya
lagi pada hari apa saja
sepanjang tahun,
pengecualian apa pun
dapat diambil dalam
pandangan semacam
ini.”32
Pandangan Ulama
Terdahulu tentang
Maulid
Dalam pandangan mufti
Mekah, Ahmad ibn Zaynî
Dahlân, “Memperingati
hari kelahiran Nabi saw.
dan mengingat Nabi saw.
itu dibolehkan oleh
ulama muslim.”33
Imam al-Subkî
mengatakan, “Pada saat
kita merayakan hari
kelahiran Nabi saw, rasa
persaudaraan yang kuat
merasuk ke hati kita,
dan kita merasakan
sesuatu yang khas.”
Imam al-Syawkânî
mengatakan,
“Dibolehkan merayakan
hari kelahiran Nabi
saw.”34 Beliau pun
mengatakan bahwa
Mulah ‘Alî al-Qârî
memiliki pandangan yang
sama dalam kitabnya, al-
Mawrid al-Râwî fî al-
Mawlid al-Nabawî, yang
ditulis secara khusus
untuk mendukung
perayaan hari kelahiran
Nabi saw.
Imam Abû Syamah, guru
Imam al-Nawawî,
berkata:
Bidah yang paling baik
pada masa kita sekarang
ini adalah peringatan
hari kelahiran Nabi saw.
Pada hari tersebut
orang-orang memberikan
banyak sumbangan,
melakukan banyak
ibadah, menunjukkan
rasa cinta yang besar
kepada Nabi saw., dan
menyatakan banyak
syukur kepada Allah Swt.
karena telah mengutus
Rasul-Nya kepada
mereka, untuk menjaga
mereka agar mengikuti
sunah dan syariah
Islam.35
Imam al-Syakhawî
mengatakan,
“Peringatan hari
kelahiran Nabi saw.
dimulai pada tiga abad
setelah Nabi saw. wafat.
Seluruh muslimin
merayakannya dan
seluruh ulama
membolehkannya,
dengan cara beribadah
kepada Allah swt,
bersedekah, dan
membaca riwayat hidup
Nabi saw.”
Hafiz Ibn Hajar al-
Haytsamî mengatakan,
“Sebagaimana orang-
orang Yahudi merayakan
Hari Asyura dengan
berpuasa untuk
bersyukur kepada Allah
swt, kita pun mesti
merayakan maulid.”
Beliau pun mengutip
hadis yang telah
disebutkan di depan,
“Tatkala Nabi saw. tiba
di Madinah …” Ibn Hajar
kemudian melanjutkan:
(Selayaknya) orang
bersyukur kepada Allah
swt atas rahmat yang
telah Dia berikan pada
suatu hari tertentu, baik
berupa kebaikan yang
besar ataupun
keterhindaran dari
bencana. Hari tersebut
dirayakan setiap tahun
setelah peristiwa itu.
Ungkapan syukur terlahir
dalam berbagai bentuk
peribadatan seperti
sujud syukur, puasa,
sedekah, dan membaca
Alquran. Lantas,
kebaikan apa lagi yang
lebih besar dari
kedatangan Nabi saw.,
seorang Nabi penebar
rahmat, pada hari
maulid?
Ibn al-Jawzî (w. 579)
menulis sebuah buku
kecil yang berisi syair
dan riwayat hidup Nabi
saw untuk dibacakan
dalam perayaan maulid.
Buku itu berjudul Mawlid
al-‘Arûs,36 dan beliau
membuka dengan kata-
kata, “Al-hamd li Allâh
al-ladzî abraza min
ghurrat ‘arûs al-hadhrah
shubhan mustanîrah
(Segala puji bagi Allah
swt yang telah
mengeluarkan dari
pancaran cahaya
hadirat-Nya pagi hari
yang semburat dengan
sinar cemerlang).”
Dianjurkan untuk
Memperingati Maulid
Imam al-Suyûthî
mengatakan:
Alasan berkumpul untuk
salat tarawih adalah
sunah dan merupakan
suatu cara mendekatkan
diri kepada Allah …
demikian juga kami
katakan bahwa alasan
berkumpul untuk
memperingati maulid
adalah dianjurkan
(mandûb) … dan
merupakan tindakan
medekatkan diri kepada
Allah … dan niat
merayakan kelahiran
Nabi saw adalah baik
(mustahsanah) tanpa
keraguan lagi.37
Imam al-Suyûthî
melanjutkan:
Tentang kebolehan
maulid, saya ambil dasar
hukumnya dari sumber
sunah yang lain (di
samping hadis tentang
Asyura yang dijadikan
dasar oleh Ibn Hajar),
yaitu hadis yang
ditemukan dalam karya
al-Bayhaqî, yang
diriwayatkan oleh Anas,
“Nabi saw. menyembelih
aqiqah untuk dirinya
sendiri setelah beliau
menerima kenabian,”
meskipun telah
disebutkan bahwa
kakeknya, yaitu ‘Abd al-
Muthâlib telah
melakukannya pada hari
ketujuh setelah
kelahirannya, padahal
aqiqah tidak dapat
diulangi.38 Oleh karena
itu, alasan bagi tindakan
Nabi saw tersebut adalah
untuk menyatakan
syukur kepada Allah
karena telah
mengutusnya sebagai
rahmat seluruh alam,
dan menyatakan
penghargaannya kepada
umatnya, sebagaimana
halnya beliau suka
melakukan salat untuk
dirinya sendiri. Oleh
karena itu, juga
dianjurkan kepada kita
untuk menyatakan rasa
syukur kita atas
kelahirannya dengan
berkumpul bersama
saudara-saudara kita,
memberi makan orang-
orang, dan perbuatan
baik lain, serta
bergembira.39
Hadis ini menguatkan
hadis di muka tentang
bagaimana Nabi saw.
menaruh perhatian
khusus terhadap hari
Senin sebagai hari
kelahiran dan
kenabiannya.
Penegasan Para Penulis
“Salafi” Kontemporer
perihal Larangan Maulid
Klaim bahwa
memperingati maulid itu
suatu bidah bukan saja
langkah mengada-ada
yang menyimpang dari
apa yang telah dikatakan
mayoritas ulama tempo
dulu mengenai hal
tersebut. Pertama-tama,
dan terutama, klaim
tersebut mengandung
cacat, baik dari sisi
logika maupun
penalarannya, karena
ulama telah menetapkan
bahwa bidah ada yang
baik, ada yang buruk,
dan ada yang biasa saja.
Karena itu, tidaklah
boleh melarang sesuatu
semata atas dasar
anggapan bahwa itu
suatu bidah (kreasi baru)
sebelum terlebih dulu
menentukan termasuk
bidah apakah hal itu.
Ada bid‘ah hasanah
(bidah yang baik),
menurut mayoritas
ulama yang telah menulis
tentang bidah, meskipun
beberapa ulama, seperti
Ibn al-Jawzî dan Ibn
Taymiyyah, beranggapan
bahwa semua bidah
pastilah bidah sesat
(bid‘ah dhalâlah).
Kedudukan mereka
dalam masalah ini adalah
suatu kelainan (syâdzdz)
dan menyimpang dari
norma, sebagaimana
bukti-bukti berikut
menunjukkan:
1. Harmalah ibn Yahyâ
berkata: “Saya
mendengar al-Syâfi‘î
berkata: ‘Al-bid‘ah
bid‘atâni bid‘ah
mahmûdah wa bid‘ah
madzmûmah, fa mâ
wâfaqa al-sunnah fa
huwa mahmûd, wa mâ
khâlaf al-sunnah fa huwa
madzmûm (Bidah itu dua
jenis: bidah terpuji dan
bidah tercela. Apa yang
sesuai dengan sunah
adalah terpuji, dan yang
bertentangan dengan
sunah adalah tercela.’”40
2. Hafiz al-‘Izz ibn ‘Abd al-
Salâm berkata: Ada lima
tipe bidah: yang dilarang
(haram), yang tak disukai
(makruh), yang
dibolehkan (mubah),
yang terpuji (mandûb),
dan yang harus (wajib).41
3. Ulama lain yang
mengakui kemungkinan
adanya yang disebut
bidah yang baik (bid‘ah
hasanah) adalah:
Abû Syamah, yang
membagi bidah ke dalam
bid‘ah mustahsanah/
hasanah (bidah yang
dianggap baik) dan
bid‘ah mustaqbahah
(bidah yang dianggap
buruk), yang terbagi ke
dalam muharram
(dilarang) dan makruh
(tak disukai), pada sisi
lainnya.42
Al-Turkumanî al-Hanafî,
yang membagi bidah
menjadi bid‘ah
mustahsanah (dianggap
baik), yaitu bidah yang
mubâhah yutsâbu ‘alayhâ
(bidah yang dibolehkan
dan mendapatkan
pahala), dan bid‘ah
mustaqbahah (dianggap
buruk), seperti yang
makruh dan yang
haram.43
Ibn al-Hajj al-Abdarî al-
Mâlikî, yang mengikuti
pembagian menurut Ibn
‘Abd al-Salâm.44
Al-Tahanawî al-Hanafî,
yang juga mengikuti
pembagian menurut Ibn
‘Abd al-Salâm.45
Hafiz Ibn Hajar
al-‘Asqalânî, dalam
mengomentari
perkataan ‘Umar r.a.
tentang salat tarawih,
“Ni‘mati al-bid‘ah hâdzihi
(Sebagus-bagusnya bidah
yakni),” mengatakan:46
Akar makna bidah adalah
apa yang dihasilkan
tanpa contoh lebih
dahulu. Kata tersebut
diterapkan dalam hukum
sebagai lawan dari kata
sunah, dan karena itu
patut dicela. Secara
tegas, bila bidah itu
merupakan bagian dari
apa yang dapat
dikelompokkan sebagai
yang dapat diterima oleh
syariat, maka ini
termasuk ke dalam bidah
yang baik (hasanah),
sedangkan bila bidah itu
merupakan bagian dari
apa yang dapat
dikelompokkan sebagai
yang dicela oleh syarak,
maka ini termasuk ke
dalam bidah yang patut
dicela (mustaqbahah),
bila tidak demikian,
maka termasuk kategori
yang diperbolehkan
(mubah). Bidah tersebut
dapat dibagi ke dalam
lima kategori yang sudah
dikenal.47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar