Entri Populer

Minggu, 01 Agustus 2010

Islam Keras dan Santun

Tema radikalisme Islam kembali
mencuat. Sebutannya pun bisa
beragam, seperti ekstrem kanan,
fundamentalis, dan militan. Ada
juga yang menyebut radikal
dengan sebutan Neo-Khawarij
dan Khawarij abad ke-20.
Radikalisme sekelompok Muslim
tidak dapat dijadikan alasan
untuk menjadikan Islam sebagai
biang keladi radikalisme. Yang
pasti, radikalisme berpotensi
menjadi bahaya besar bagi masa
depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme bukan
sebuah gerakan spontan, tetapi
memiliki faktor pendorong.
Gejala kekerasan ”agama” bisa
didudukkan sebagai gejala sosial-
politik daripada gejala
keagamaan. Akar masalahnya
bisa ditelusuri dari sudut sosial-
politik dalam kerangka
historisitas manusia.
Faktor lain adalah sentimen
keagamaan dan solidaritas
keagamaan untuk kawan yang
tertindas oleh kekuatan tertentu.
Namun, hal ini lebih tepat
disebut faktor emosi keagamaan,
bukan faktor agama an sich,
meski gerakan radikalisme selalu
mengibarkan simbol agama
seperti jihad dan mati syahid.
Emosi keagamaan adalah agama
sebagai pemahaman realitas,
bersifat. Jadi, sifatnya nisbi dan
subyektif.
Faktor kultural juga memiliki
andil besar yang
melatarbelakangi munculnya
radikalisme. Secara kultural, di
masyarakat selalu ditemukan
usaha untuk melepaskan diri dari
jerat jaring-jaring kebudayaan
yang dianggap tidak sesuai.
Faktor kultural adalah sebagai
antitesa terhadap budaya
sekularisme Barat yang dicap
sebagai musuh besar.
Islam Indonesia
Islam adalah agama ”pendatang”
karena berasal dari Timur
Tengah. Namun, berkat proses
transformasi yang berjalan
damai, Islam menjadi bagian tak
terpisahkan kehidupan bangsa
Indonesia. Sesuai makna dasar
Islam, dari kata aslama,
bermakna ”damai”, ternyata
para pembawa panji-panji Islam
tempo dulu mampu
menyebarkan agama Islam
dengan damai.
Penyebaran Islam di Indonesia
berjalan lancar dan tidak
menimbulkan konfrontasi
dengan pemeluk agama
sebelumnya. Masuk melalui
pantai Aceh, Islam dibawa para
perantau dari berbagai penjuru,
seperti Arab Saudi dan sebagian
dari mereka ada yang berasal
dari Gujarat.
Penyebab proses Islamisasi
berjalan damai karena
kepiawaian para mubalig dalam
memilih media dakwah, seperti
sosial budaya, ekonomi, dan
politik. Dalam penggunaan
media budaya, sebagian mubalig
memanfaatkan wayang sebagai
salah satu media dakwah. Sunan
Kalijaga, misalnya, mampu
menarik simpati rakyat Jawa yang
amat akrab dengan budaya dan
tradisi Hindu-Buddha.
Para pembawa panji Islam juga
memanfaatkan aspek ekonomi
untuk mengembangkan nilai-nilai
dan ajaran Islam. Dari berbagai
literatur terungkap, aspek itu
menempati posisi strategis dalam
upaya Islamisasi di Nusantara.
Salah satu faktor yang
mendorong minat masyarakat
Nusantara mengikuti agama para
pedagang itu karena tata cara
dagang serta perilaku sehari-hari
lainnya dianggap menarik
sanubari masyarakat setempat.
Setelah kokoh menancapkan
pengaruhnya di Indonesia, peran
Islam lambat laun meningkat ke
wilayah politik melalui upaya
mendirikan kerajaan Islam,
antara lain Kerajaan Pasai,
Demak, Mataram, dan Pajang.
Lalu, semua itu mengalami
keruntuhan karena adanya
berbagai faktor, baik konflik
internal di antara anggota
keluarga kerajaan maupun
faktor eksternal seperti serbuan
kolonialis Portugis dan Belanda.
Namun, posisi Islam tetap kukuh
dan kian menyatu dengan
kehidupan masyarakat dan
hampir selalu memperlihatkan
wajahnya yang ramah dan
santun. Gejolak yang sifatnya
radikal nyaris tak terdengar.
Dakwah santun
Memahami Islam secara
tekstualistik akan mendatangkan
sikap ekstrem. Padahal, Al Quran
tidak melegitimasi sedikit pun
perilaku dan sikap yang
melampaui batas. Dalam konteks
ini, ada tiga sikap yang
dikategorikan ”melampaui
batas”.
Pertama, ghuluw, bentuk
ekspresi berlebihan manusia
dalam merespons persoalan
hingga mewujud dalam sikap-
sikap di luar batas kewajaran
kemanusiaan.
Kedua, tatharruf, sikap
berlebihan karena dorongan
emosional yang berimplikasi
kepada empati berlebihan dan
sinisme keterlaluan dari
masyarakat.
Ketiga, irhab, yang mengundang
kekhawatiran karena bisa
membenarkan kekerasan atas
nama agama. Irhab adalah sikap
dan tindakan berlebihan karena
dorongan agama atau ideologi.
Idealnya, seorang Muslim harus
memahami ajaran Islam secara
utuh, hingga berdampak sosial
yang positif bagi dirinya.
Alangkah kering dan gersangnya
agama jika aspek eksoterik
dalam Islam hanya sebatas legal-
formal dan tekstualistik. Sebuah
ayat tentang jihad akan terasa
gersang jika pemahamannya
dimonopoli tafsir ”perang
mengangkat senjata”. Padahal,
jihad pada masa Rasulullah
merupakan wujud pembebasan
rakyat untuk menghapus
diskriminasi dan melindungi hak-
hak rakyat demi terbangunnya
tatanan masyarakat yang
beradab.
Puncak keberagamaan seseorang
terletak pada sikap arif dan
bijaksana (al-hikmah). Di sinilah
perlunya mengedepankan aspek
esoteris Islam. Sisi ini merupakan
pemahaman keislaman yang
moderat, serta bentuk dakwah
yang mengedepankan qaulan
karima (perkataan yang mulia),
qaulan ma ’rufa (perkataan yang
baik), qaulan maisura (perkataan
yang pantas), qaulan layyinan
(perkataan yang lemah lembut),
qaulan baligha (perkataan yang
berbekas pada jiwa), dan qaulan
tsaqila (perkataan yang berat).
Semua sikap itu telah
diamanatkan dalam Al Quran.
Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU
Dimuat HU Kompas, Jumat, 4
September 2009